Minggu, 19 Desember 2010

MILIKILAH RASA MALU - Ustz Mashadi


Segalanya telah dimilikinya. Rumah megah dilereng bukit. Mobil mewah berderet-deret dihalaman parkir. Tanahnya puluhan hektar. Investasinya di mana-mana. Simpanan uang di bank-bank tak ternilai. Kekayaannya sudah lebih. Tak ada lagi yang kurang. Dalam hal kenikmatan dan kemegahan dunia, tak ada lagi yang diperlukan. Serba cukup. Barangkali hanya satu, yang masih belum dimilikinya, yaitu rasa malu.
Dalam hidupnya tak seperti kebanyakan orang. Di mana orang-orang harus bekerja dengan keras untuk mendapatkan uang. Orang harus berangkat pagi, sebelum fajar pergi ke kota untuk bekerja. Membanting tulang. Larut malam baru pulang. Itupun terkadang yang didapatkannya belum pasti. Bagi kebanyakan orang hidupnya penuh dengan ketidakpastian. Seakan umurnya itu habis di jalan, hanya mengejar yang tak pasti. Berjam-jam menempuh perjalanan menuju tempat kerja. Itupun yang didapatkan terkadang belumlah mencukupi.
Tetapi, ada orang yang tidak mencari uang, justru uang yang mengejarnya, mendatanginya, dan datang dengan uang yang berlimpah-limpah. Ia hanya duduk-duduk di beranda rumahnya, dan orang-orang datang mengunjunginya.
Orang datang ingin mendapatkan restu, dukungan, dan pengesahan. Mereka yang datang ingin mendapatkan dunia. Harta, jabatan, kekuasaan, dan kenikmatan hidup lainnya. Itulah yang sekarang menjadi ‘ilah-ilah’ baru di zaman modern ini. Banyak orang yang berjudi dengan hidup, yang bertujuan ingin mendapatkan simbol-simbol kenikmatan dunia.
Orang-orang yang mengejar jabatan, kedudukan, kekuasaan, dan kenikmatan dunia lainnya itu, kemudian mereka datang kepada empunya, yang dipercaya dapat memberikan jaminan dan kelayakan bagi dirinya menjadi pejabat, memiliki kedudukan, memiliki kekuasaan, dan mendapatkan kenikmatan dan kemuliaan dunia. Bagi mereka pencari kenikmatan dan kemuliaan dunia, yang berusaha mendapatkannya, dan pasti akan menemui empunya, yang menjadi pembuka kunci bagi tercapainya tujuan itu, serta tak segan-segan memberikan dan mengabulkan permintaan apa saja yang menjadi kehendak empunya.
Sekarang di zaman demokrasi, segalanya ditentukan oleh partai-partai, dan menuju jabatan, kedudukan, dan kekuasaan, yang diinginkan oleh bagi semua orang yang menginginkannya, kunci dan pintu pembukanya adalah para pemegang kuasa partai. Suka atau tidak suka. Mereka yang ingin mendapatkan kenikmatan hidup berupa jabatan, kedudukan, dan kekuasaan, semua pintunya melalui partai, dan para pemegang kuasa partai.
Tentulah, segala kerusakan dan kebobrokan yang ada sekarang ini, manakala semua orang-orang yang memegang kuasa, tidak lagi memiliki ‘itijah’ (orientasi) kepada kehidupan akhirat, dan hanyalah kepada kenikmatan dunia, maka sekecil apapun, ketika ia memiliki kuasa, pasti kekuasaan itu akan diorientasikan untuk mendapatkan kenikmatan dunia sebesar-besarnya. Tidak mempedulikan segala akibatnya yang akan timbul.
Abu Mas’ud Uqbah bin Amr al-Anshari al-Badri ra, berkata, Rasulullah Shallahu alaihi wa salam bersabda, “ Sesungguhnya sebagian yang masih diingat orang dari ajaran para Nabi terdahulu, “Jika tidak malu, berbuatlah sesukamu”. (HR. Bukhari)
Makna malu adalah mencegah dari melakukan segala sesuatu yang tercela, maka sesungguhnya memiliki malu, pada dasarnya, seruan untuk mencegah segala maksiat dan kejahatan. Rasa malu adalah ciri khas kebaikan, yang senantiasa diinginkan oleh manusia. Mereka melihat bahwa tidak memiliki rasa malu adalah aib. Rasa malu merupakan bagian dari kesempurnaan iman. “Malu adalah bagian dari keimanan”, dan dalam hadist lainnya “Rasa malu selalu mendatangkan kebaikan”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Imam Ahmad dan Tirmidzi meriwayatkan secara marfu’ (bersumber dari sabda Rasulullah), bahwa Ibnu Mas’ud, “Merasa malu kepada Allah adalah dengan menjaga kepala dan apa yang dipikirkannya, perut dan apa yang ada didalamnya, dan selalu mengingat mati dan cobaan. Barangsiapa yang menghendaki akhirat, maka akan meninggalkan perhiasan dunia. Dan siapapun yang melakukan hal itu tersebut ia telah memiliki rasa malu kepada Allah”.
Jika dalam diri manusia tidak ada lagi rasa malu, baik yang bersifat bawaan maupun yang diusahakan, maka tidak ada lagiyang menghalangi untuk melakukan perbuatan keji dan hina. Bahkan menjadi seperti orang yang tidak memiliki keimanan sama sekali, sehingga tidak berbeda degan golongan syetan.
Seperti dikatakan Baginda Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, “Jika tidak malu, berbuatlah sesukamu”. Ini menggambarkan betapa orang yang tidak memiliki lagi malu, pasti ai akan berbuat dan bertindak sesuka hatinya, tanpa lagi mempedulikannya.
Berdusta, berbohong, berkhianat, memberikan wala’nya (loyalitasnya) kepada musuh-musuh Allah, seraya mengatakan sebaagai kemenangan. Menerima sogok dan suap, diangap sebagai shadaqah dan jariyah. Uang-uang yang suhbhat dianggapnya sebagai yang halal. Bahkan, yang haram pun dianggapnya sebagai halal, yang dapat digunakan untuk mencapai tujuannya, terutama menggapai kenikmatan dunia.
Tak ayal lagi sekarang ini, kalangan orang-orang yang mengerti tentang ‘din’ sekalipun mereka berlomba-lomba dalam rangka untuk melaksanakan kebersamaan dalam “ta’awanu alal ismi wal udwan”, bersama-sama dalam mengusung kebathilan, dan menegakkan yang fasik, dan durhaka kepada Allah, meskipun selalu mereka berdalih dalam rangka mencapai kemenangan Islam.
Mereka sudah tidak lagi memiliki rasa malu di depan Allah Azza Wa Jalla, berbuat maksiat dan durhaka, justru mereka merasa menjalankan perintah-Nya. Inilah kehidupan orang-orang yang sudah kehilangan rasa malu. Wallahu’alam.

Mengapa Kita Membaca AlQuran Meskipun Tidak Mengerti Satupun Artinya?

Seorang muslim tua Amerika tinggal di sebuah perkebunan/area di sebelah timur Pegunungan Kentucky bersama cucu laki-lakinya. Setiap pagi Sang kakek bangun pagi dan duduk dekat perapian membaca Al-qur’an. Sang cucu ingin menjadi seperti kakeknya dan memcoba menirunya seperti yang disaksikannya setiap hari.

Suatu hari ia bertanya pada kakeknya : “ Kakek, aku coba membaca Al-Qur’an sepertimu tapi aku tak bisa memahaminya, dan walaupun ada sedikit yang aku pahami segera aku lupa begitu aku selesai membaca dan menutupnya. Jadi apa gunanya membaca Al-quran jika tak memahami artinya ?

Sang kakek dengan tenang sambil meletakkan batu-batu di perapian, memjawab pertanyaan sang cucu : “Cobalah ambil sebuah keranjang batu ini dan bawa ke sungai, dan bawakan aku kembali dengan sekeranjang air.”

Anak itu mengerjakan seperti yang diperintahkan kakeknya, tetapi semua air yang dibawa habis sebelum dia sampai di rumah. Kakeknya tertawa dan berkata, “Kamu harus berusaha lebih cepat lain kali “.

Kakek itu meminta cucunya untuk kembali ke sungai bersama keranjangnya untuk mencoba lagi. Kali ini anak itu berlari lebih cepat, tapi lagi-lagi keranjangnya kosong sebelum sampai di rumah.

Dengan terengah-engah dia mengatakan kepada kakeknya, tidak mungkin membawa sekeranjang air dan dia pergi untuk mencari sebuah ember untuk mengganti keranjangnya.

Kakeknya mengatakan : ”Aku tidak ingin seember air, aku ingin sekeranjang air. Kamu harus mencoba lagi lebih keras. ” dan dia pergi ke luar untuk menyaksikan cucunya mencoba lagi. Pada saat itu, anak itu tahu bahwa hal ini tidak mungkin, tapi dia ingin menunjukkan kepada kakeknya bahwa meskipun dia berlari secepat mungkin, air tetap akan habis sebelum sampai di rumah. Anak itu kembali mengambil / mencelupkan keranjangnya ke sungai dan kemudian berusaha berlari secepat mungkin, tapi ketika sampai di depan kakeknya, keranjang itu kosong lagi. Dengan terengah-engah, ia berkata : ”Kakek, ini tidak ada gunanya. Sia-sia saja”.

Sang kakek menjawab : ”Nak, mengapa kamu berpikir ini tak ada gunanya?. Coba lihat dan perhatikan baik-baik keranjang itu .”

Anak itu memperhatikan keranjangnya dan baru ia menyadari bahwa keranjangnya nampak sangat berbeda. Keranjang itu telah berubah dari sebuah keranjang batu yang kotor, dan sekarang menjadi sebuah keranjang yang bersih, luar dan dalam. ” Cucuku, apa yang terjadi ketika kamu membaca Qur’an ? Boleh jadi kamu tidak mengerti ataupun tak memahami sama sekali, tapi ketika kamu membacanya, tanpa kamu menyadari kamu akan berubah, luar dan dalam.

RAHASIA DIBALIK MUSIBAH - Ulis Tofa, Lc

dakwatuna.com – Tidaklah Allah swt. menciptakan peristiwa, atau kejadian sesuatu yang sia-sia. Manusia dianjurkan untuk merenung dan mengambil pelajaran dari berbagai macam peristiwa yang terjadi. Islam sangat mendorong umatnya untuk menggunakan potensi yang Allah swt. berikan kepadanya; penglihatan, pendengaran, hati, panca indra yang lain agar difungsikan untuk merenung hikmah dibalik peristiwa.

قُلْ سِيرُوا فِي الأرْضِ ثُمَّ انْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ (11)

11. Katakanlah: “Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” QS. Al-An’am:11

Ayat yang senada seperti di atas sangatlah banyak dalam Al-Qur’an. Dengan redaksi yang beragam, tapi kesimpulannya adalah satu, menggunakan pemberian Allah untuk merenung dan mengambil pelajaran yang sangat berharga dari berbagai peristiwa bencana yang terjadi silih berganti ini. Ada beberapa rahasia dibalik musibah dan bencana yang selama ini terjadi bahwa:

Pertama, Allah Penentu Kehidupan, Dzat yang Maha Perkasa.


Bahwa dibalik kehidupan ini ada yang punya, ada yang mengatur. Dialah Allah Rabbul Izzah, Tuhan yang memiliki kemuliaan dan keperkasaan. Di Genggaman-Nya lah semua kehidupan ini dikendalikan. Allah hanya butuh berkata “Kun Fayakun, terjadi! maka terjadilah”. Allah memiliki nama-nama, di antaranya; Al-Khaliq –Pencipta-, Al-Muhaimin –Yang Mengatur-, Al-Muhyi –Yang Menghidupkan-, Al-Mumit –Yang Mematikan-, Adh-Dhaar –Yang Memberi Madharat-, An-Nafi’ –Yang memberi Manfaat-, dst.

Manusia tidak bisa mengatur-atur. Manusia tidak mungkin bilang “hai merapi, berhenti meletus… dst”, sebagaimana yang kita dengar dari pusat ahli vulkanologi dan mitigasi bencana. Allah swt. punya kehendak-Nya sendiri, bahkan Kehendak itu sudah ditulis semenjak zaman azali. Allah swt. berfirman:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (22)

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” Al-Hadid/57:22

Perhatikan potongan akhir ayat akhir di atas “Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah”

حدثنا عاصم ، قال : سمعت الحسن ، يقول في مرضه الذي مات فيه : « إن الله عز وجل قدر أجلا ، وقدر مصيبة ، وقدر معافاة ، وقدر طاعة ، وقدر معصية ، فمن كذب بالقدر فقد كذب بالقرآن ، ومن كذب بالقرآن ، فقد كذب بالحق »

Al-Hasan ketika menjelang mautnya berkata: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mentaqdirkan ajal, dan mentaqdirkan musibah, mentaqdirkan kesehatan, mentaqdirkan ketaatan, mentaqdirkan kemaksiatan. Maka barangsiapa yang mengingkari taqdir, ia berarti mengingkari Al-Qur’an. Barangsiapa mengingkari Al-Qur’an, sungguh ia berarti mengingkari kebenaran.”

Kedua, Musibah Akibat Perbuatan Manusia

Musibah yang menimpa umat manusia adalah karena perbuatan mereka sendiri yang melanggar peraturan Allah, merusak ekosistem kehidupan, banyak melakukan kemaksiatan dan dosa, tidak menjalankan perintah dan syariat-Nya.

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ (30) وَمَا أَنْتُمْ بِمُعْجِزِينَ فِي الأرْضِ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ (31)

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). Dan kamu tidak dapat melepaskan diri (dari azab Allah) di muka bumi, dan kamu tidak memperoleh seorang pelindung dan tidak pula penolong selain Allah. ” Syuro/42:30-31

Bukan karena ada unsur mistik, karena ini, karena itu, seperti karena bulan tertentu, karena hari tertentu dll. yang justeru merusak aqidah umat. Bencana karena ulah manusia, dan itu atas kuasa Allah swt.

Ketiga, Pahala Tergantung Besarnya Musibah


عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ، أَنَّهُ قَالَ : إِنَّ أَعْظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاءِ ، وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاهُمْ ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا ، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

Dari Anas bin Malik ra. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya besarnya pahala itu tergantung besarnya ujian. Dan sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, Allah mengujinya. Maka barangsiapa ridha dengan ujian Allah, baginya ridha –dari Allah-, sebaliknya, siapa yang murka, maka baginya murka –dari Allah-.” HR. At-Tirmidzi

Karena itu, tidak perlu putus asa, jangan sampai menggadaikan aqidah dengan

Keempat, Musibah Dalam Rangka Tamhis (Seleksi)


Kehidupan ini bukan statis, tapi berputar. Ada yang baik ada yang buruk, ada yang berhasil ada yang juga gagal. Itu semua adalah dalam rangka untuk menseleksi secara alamiah kualitas manusia, dan sebagai batu ujian; apakah ia lulus dengan predikat baik, lulus dengan catatan, atau malah gagal dalam menjalani usjian tersebut.

وَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْمُنَافِقِينَ (11)

“Dan Sesungguhnya Allah benar-benar mengetahui orang-orang yang beriman: dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang munafik.” Al-Ankabut/29:11

Ketika menjelaskan ayat ini, Mujahid berkomentar: “Manusia itu ada yang iman hanya di lisannya saja, maka ketika dia mendapatkan ujian, berupa kehilangan harta atau jiwa, sebagian manusia dilanda fitnah –goncang yang hebat-“ (Tafsir Al-Baghawi, Juz 6, Bab 11, Hal. 235)

Kelima, Istirja’ atau Mengembalikan Semua kepada Allah


Pertam kali menghadapi musibah, hendaknya iman yang berbicara, bukan hawa nafsu yang protes. Karena seseorang ditentukan oleh sikap pertama kalinya terhadap kejadian. Rasulullah saw. mengingatkan “Sesungguhnya sabar itu ketika merespon kejadian pertam kali.” Selanjutnya berdoa kepada Allah swt. agar diberikan pahala atas musibah itu dan memperoleh ganti yang jauh lebih baik.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أصاب أحدكم مصيبة فليقل إنا لله وإنا إليه راجعون اللهم عندك احتسب مصيبتي فأجرني عليها وأبدلني بها خيرا منها

Rasulullah saw. bersabda: “Jika salah satu di antara kalian mendapatkan musibah, maka ucapkanlah; “Sesungguhnya kami milik Allah dan kami kembali kepada-Nya, “Allahumma ‘indaka ahtasibu mushibatii, fa ajirnii ‘alaihaa waabdilnii bihaa khairan minhaa. Ya Allah kepada-Mu saya ikhlaskan musibah yang menimpaku, maka berilah pahala kepadaku atas musibah ini, dan berilah saya ganti yang jauh lebih baik darinya.” Imam Muslim

Keenam, Musibah Menghapus Kesalahan dan Mengangkat Derajat

Inilah indahnya kehidupan bagi orang yang beriman. Ujian, bencana dan bala akan menggugurkan dosa-dosa dan sekaligus mengangkat derajatnya. Tidak sia-sia, tegantung ia meresponnya. Dari Aisyah ra. ia mendengar Rasulullah saw. bersabda:

عن عائشة قالت سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول « مَا مِنْ مُؤْمِنٍ تَشُوكُهُ شَوْكَةٌ فَمَا فَوْقَهَا إِلاَّ حَطَّ اللَّهُ عَنْهُ خَطِيئَةً وَرَفَعَ لَهُ بِهَا دَرَجَةً » رواه مسلم

“Tiada seorang mukmin yang tertusuk suatu duri atau bahkan yang jauh lebih sakit, kecuali Allah pasti akan menghapus kesalahan dan mengangkat derajat.” Imam Muslim

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : « عجبًا لأمرِ الْمُؤْمِن ، إِنَّ أمرهُ كُلَّهُ خيرٌ ، ولَيْسَ ذلِكَ لأحَد إلاَّ للمُؤْمنِ ، إن أصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَر ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ ، وإنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ ، فكَانَ خَيرًا لَهُ »

Rasulullah saw. bersabda: “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya baik baginya. Jika ia mendapatkan kebaikan, ia bersyukur. Jika sedangkan memperoleh keburukan, ia bersabar, kedua-duanya baik baginya, itu tidak dimiliki kecuali oleh orang mukmin.” Sahih Ibnu Hibban

Ketujuh, Musibah sebagai Peringatan

Kejadian bencana bisa dimaknai 3 hal; Pertama sebagai siksa, jika itu menimpa orang-orang yang tidak beriman. Kedua sebagai peringatan, jika menimpa orang-orang yang beriman tapi melakukan banyak dosa. Dan ketiga, sebagai sarana mengangkat derajat, yaitu bagi orang yang beriman, hamba-hamba Allah swt.

Allah swt. berfirman:

قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَخَذَ اللَّهُ سَمْعَكُمْ وَأَبْصَارَكُمْ وَخَتَمَ عَلَى قُلُوبِكُمْ مَنْ إِلَهٌ غَيْرُ اللَّهِ يَأْتِيكُمْ بِهِ انْظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ الْآَيَاتِ ثُمَّ هُمْ يَصْدِفُونَ (46) öقُلْ أَرَأَيْتَكُمْ إِنْ أَتَاكُمْ عَذَابُ اللَّهِ بَغْتَةً أَوْ جَهْرَةً هَلْ يُهْلَكُ إِلَّا الْقَوْمُ الظَّالِمُونَ (47) وَمَا نُرْسِلُ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ فَمَنْ آَمَنَ وَأَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (48)ÇÍÑÈ وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا يَمَسُّهُمُ الْعَذَابُ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ (49)

46. Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta menutup hatimu, siapakah Tuhan selain Allah yang Kuasa mengembalikannya kepadamu?” perhatikanlah bagaimana Kami berkali-kali memperlihatkan tanda-tanda kebesaran (Kami), kemudian mereka tetap berpaling (juga).

47. Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku jika datang siksaan Allah kepadamu dengan sekonyong-konyong, atau terang-terangan, Maka Adakah yang dibinasakan (Allah) selain dari orang yang zalim?”

48. dan tidaklah Kami mengutus Para Rasul itu melainkan untuk memberikan kabar gembira dan memberi peringatan. Barangsiapa yang beriman dan Mengadakan perbaikan, Maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.

49. dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, mereka akan ditimpa siksa disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” QS. Al-An’am: 46-49

Ketujuh, Musibah Menyempurnakan Iman

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:لَيْسَ بِمُؤْمِنٍ مُسْتَكْمِلِ الإِيمَانِ مَنْ لَمْ يَعُدَّ الْبَلاءَ نِعْمَةً، وَالرَّخاءَ مُصِيبَةً، قَالُوا: كَيْفَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ:لأَنَّ الْبَلاءَ لا يَتْبَعُهُ إِلا الرَّخَاءُ، وَكَذَلِكَ الرَّخَاءُ لا تَتْبَعُهُ إِلا الْمُصِيبَة وليس بمؤمن مستكمل الإيمان من لم يسكن في صلاته” قالوا: ولم يا رسول الله؟ قال: “لأن المصلي يناجي ربه فإذا كان في غير صلاة إنما يناجي ابن آدم”.

رواه الطبراني.

Rasulullah saw. bersabda: “Tiada dianggap mukmin yang sempurna imannya orang yang tidak menganggap suatu bala’ sebagai sebuah kenikmatan, dan suatu kemudahan sebagai musibah. Para sahabat bertanya: Bagaimana itu ya Rasulullah? Rasul menjawab; “Karena tiak menyertai balak itu kecuali adanya kemudahan. Demikian juga dengan kemudian itu akan disertai dengan musibah.” Ath-Tabrani.

Allah swt. berfirman:

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (5) إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (6) فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ (7) وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ (8)

5.Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,

6. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

7. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.

8. dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” QS. Al-Insyirah:5-8.

Dibalik bencana ada hikmah, ada pelajaran, ada kebaikan. Mari kita renungkan, kita temukan rahasia di balik bencana yang selama ini terjadi. Allahu a’lam


"Terimakasih wiwie.."

jalan2 ke museum di kota... assyyiikkk...



                                          sabtu, 18 desember 2010
                               jalan-jalan ke museum di kota - jakarta

22 TANDA IMAN ANDA SEDANG LEMAH - Ustz.Mochamad Bugi


Ada beberapa tanda-tanda yang menunjukkan iman sedang
lemah. Setidaknya ada 22 tanda yang dijabarkan dalam artikel ini.

Tanda-tanda tersebut adalah:

1. Ketika Anda sedang melakukan kedurhakaan atau dosa. Hati-hatilah! Sebab,
perbuatan dosa jika dilakukan berkali-kali akan menjadi kebiasaan. Jika
sudah menjadi kebiasaan, maka segala keburukan dosa akan hilang dari
penglihatan Anda. Akibatnya, Anda akan berani melakukan perbuatan durhaka
dan dosa secara terang-terangan.

Ketahuilah, Rasululllah saw. pernah berkata, “Setiap umatku mendapatkan
perindungan afiat kecuali orang-orang yang terang-terangan. Dan,
sesungguhnya termasuk perbuatan terang-terangan jika seseirang melakukan
suatu perbuatan pada malam hari, kemudian dia berada pada pagi hari padahal
Allah telah menutupinya, namun dia berkata, ‘Hai fulan, tadi malam aku telah
berbuat begini dan begini,’ padahal sebelum itu Rabb-nya telah menutupi,
namun kemudian dia menyibak sendiri apa yang telah ditutupi Allah dari
dirinya.” (Bukhari, 10/486)

Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada pezina yang di saat berzina dalam
keadaan beriman. Tidak ada pencuri yang si saat mencuri dalam keadaan
beriman. Begitu pula tidak ada peminum arak di saat meminum dalam keadaan
beriman.” (Bukhari, hadits nomor 2295 dan Muslim, hadits nomor 86)

2. Ketika hati Anda terasa begitu keras dan kaku. Sampai-sampai menyaksikan
orang mati terkujur kaku pun tidak bisa menasihati dan memperlunak hati
Anda. Bahkan, ketika ikut mengangkat si mayit dan menguruknya dengan tanah.
Hati-hatilah! Jangan sampai Anda masuk ke dalam ayat ini, “Kemudian setelah
itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi.”
(Al-Baqarah:74)

3. Ketika Anda tidak tekun dalam beribadah. Tidak khusyuk dalam shalat.
Tidak menyimak dalam membaca Al-Qur’an. Melamun dalam doa. Semua dilakukan
sebagai rutinitas dan refleksi hafal karena kebiasaan saja. Tidak
berkonsentrasi sama sekali. Beribadah tanpa ruh. Ketahuilah! Rasulullah saw.
berkata, “Tidak akan diterima doa dari hati yang lalai dan main-main.”
(Tirmidzi, hadits nomor 3479)

4. Ketika Anda terasas malas untuk melakukan ketaatan dan ibadah. Bahkan,
meremehkannya. Tidak memperhatikan shalat di awal waktu. Mengerjakan shalat
ketika injury time, waktu shalat sudah mau habis. Menunda-nunda pergi haji
padahal kesehatan, waktu, dan biaya ada. Menunda-nunda pergi shalat Jum’at
dan lebih suka barisan shalat yang paling belakang. Waspadalah jika Anda
berprinsip, datang paling belakangan, pulang paling duluan. Ketahuilah,
Rasulullah saw. bersabda, “Masih ada saja segolongan orang yang
menunda-nunda mengikuti shaff pertama, sehingga Allah pun menunda keberadaan
mereka di dalam neraka.” (Abu Daud, hadits nomor 679)

Allah swt. menyebut sifat malas seperti itu sebagai sifat orang-orang
munafik. “Dan, apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan
malas.”

Jadi, hati-hatilah jika Anda merasa malas melakukan ibadah-ibadah rawatib,
tidak antusias melakukan shalat malam, tidak bersegera ke masjid ketika
mendengar panggilan azan, enggan mengerjakan shalat dhuha dan shalat nafilah
lainnya, atau mengentar-entarkan utang puasa Ramadhan.

5. Ketika hati Anda tidak merasa lapang. Dada terasa sesak, perangai
berubah, merasa sumpek dengan tingkah laku orang di sekitar Anda. Suka
memperkarakan hal-hal kecil lagi remeh-temeh. Ketahuilah, Rasulullah saw.
berkata, “Iman itu adalah kesabaran dan kelapangan hati.” (As-Silsilah
Ash-Shahihah, nomor 554)

6. Ketika Anda tidak tersentuh oleh kandungan ayat-ayat Al-Qur’an. Tidak
bergembira ayat-ayat yang berisi janji-janji Allah. Tidak takut dengan
ayat-ayat ancaman. Tidak sigap kala mendengar ayat-ayat perintah. Biasa saja
saat membaca ayat-ayat pensifatan kiamat dan neraka. Hati-hatilah, jika Anda
merasa bosan dan malas untuk mendengarkan atau membaca Al-Qur’an. Jangan
sampai Anda membuka mushhaf, tapi di saat yang sama melalaikan isinya.

Ketahuilah, Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman
ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan
apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan
hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (Al-Anfal:2)

7. Ketika Anda melalaikan Allah dalam hal berdzikir dan berdoa kepada-Nya.
Sehingga Anda merasa berdzikir adalah pekerjaan yang paling berat. Jika
mengangkat tangan untuk berdoa, secepat itu pula Anda menangkupkan tangan
dan menyudahinya. Hati-hatilah! Jika hal ini telah menjadi karakter Anda.
Sebab, Allah telah mensifati orang-orang munafik dengan firman-Nya, “Dan,
mereka tidak menyebut Allah kecuali hanya sedikit sekali.” (An-Nisa:142)

8. Ketika Anda tidak merasa marah ketika menyaksikan dengan mata kepala
sendiri pelanggaran terhadap hal-hal yang diharamkan Allah. Ghirah Anda
padam. Anggota tubuh Anda tidak tergerak untuk melakukan nahyi munkar.
Bahkan, raut muka Anda pun tidak berubah sama sekali.

Ketahuilah, Rasulullah saw. bersabda, “Apabila dosa dikerjakan di bumi, maka
orang yang menyaksikannya dan dia membencinya –dan kadang beliau
mengucapkan: mengingkarinya–, maka dia seperti orang yang tidak
menyaksikannya. Dan, siapa yang tidak menyaksikannya dan dia ridha terhadap
dosa itu dan dia pun ridha kepadanya, maka dia seperti orang yang
menyaksikannya.” (Abu Daud, hadits nomor 4345).

Ingatlah, pesan Rasulullah saw. ini, “Barangsiapa di antara kalian yang
melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah kemungkaran itu dengan
tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Kalau tidak sanggup, maka
dengan hatinya, dan ini adalah selemah-lemahnya iman.” (Bukhari, hadits
nomor 903 dan Muslim, hadits nomor 70)

9. Ketika Anda gila hormat dan suka publikasi. Gila kedudukan, ngebet tampil
sebagai pemimpin tanpa dibarengi kemampuan dan tanggung jawab. Suka menyuruh
orang lain berdiri ketika dia datang, hanya untuk mengenyangkan jiwa yang
sakit karena begitu gandrung diagung-agungkan orang. Narsis banget!

Allah berfirman, “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena
sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan
diri.” (Luqman:18)

Nabi saw. pernah mendengar ada seseorang yang berlebihan dalam memuji orang
lain. Beliau pun lalu bersabda kepada si pemuji, “Sungguh engkau telah
membinasakan dia atau memenggal punggungnya.” (Bukhari, hadits nomor 2469,
dan Muslim hadits nomor 5321)

Hati-hatilah. Ingat pesan Rasulullah ini, “Sesungguhnya kamu sekalian akan
berhasrat mendapatkan kepemimpinan, dan hal itu akan menjadikan penyesalan
pada hari kiamat. Maka alangkah baiknya yang pertama dan alangkah buruknya
yang terakhir.” (Bukhari, nomor 6729)

“Jika kamu sekalian menghendaki, akan kukabarkan kepadamu tentang
kepemimpinan dan apa kepemimpinan itu. Pada awalnya ia adalah cela, keduanya
ia adalah penyesalan, dan ketiganya ia adalah azab hati kiamat, kecuali
orang yang adil.” (Shahihul Jami, 1420).

Untuk orang yang tidak tahu malu seperti ini, perlu diingatkan sabda
Rasulullah saw. yang berbunyi, “Iman mempunyai tujuh puluh lebih, atau enam
puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah ucapan ‘Laa ilaaha illallah’,
dan yang paling rendah adalah menghilangkan sesuatu yang mengganggu dari
jalanan. Dan malu adalah salah satu cabang dari keimanan.” (Bukhari, hadits
nomor 8, dan Muslim, hadits nomor 50)

“Maukah kalian kuberitahu siapa penghuni neraka?” tanya Rasulullah saw. Para
sahabat menjawab, “Ya.” Rasulullah saw. bersabda, “Yaitu setiap orang yang
kasar, angkuh, dan sombong.” (Bukhari, hadits 4537, dan Muslim, hadits nomor
5092)

10. Ketika Anda bakhil dan kikir. Ingatlah perkataan Rasulullah saw. ini,
“Sifat kikir dan iman tidak akan bersatu dalam hati seorang hamba
selama-lamanya.” (Shahihul Jami’, 2678)

11. Ketika Anda mengatakan sesuatu yang tidak Anda perbuat. Ingat, Allah
swt
. benci dengan perbuatan seperti itu. “Hai orang-orang yang beriman,
mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di
sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tiada kamu perbuat.”
(Ash-Shaff:2-3)

Apakah Anda lupa dengan definisi iman? Iman itu adalah membenarkan dengan
hati, diikrarkan dengan lisan, dan diamalkan dengan perbuatan. Jadi, harus
konsisten.

12. Ketika Anda merasa gembira dan senang jika ada saudara sesama muslim
mengalami kesusahan. Anda merasa sedih jika ada orang yang lebih unggul dari
Anda dalam beberapa hal.

Ingatlah! Kata Rasulullah saw, “Tidak ada iri yang dibenarkan kecuali
terhadap dua orang, yaitu terhadap orang yang Allah berikan harga, ia
menghabiskannya dalam kebaikan; dan terhadap orang yang Allah berikan ilmu,
ia memutuskan dengan ilmu itu dan mengajarkannya kepada orang lain.”
(Bukhari, hadits nomor 71 dan Muslim, hadits nomor 1352)

Seseorang bertanya kepada Rasulullah saw., “Orang Islam yang manakah yang
paling baik?” Rasulullah saw. menjawab, “Orang yang muslimin lain selamat
dari lisan dan tangannya.” (Bukhari, hadits nomor 9 dan Muslim, hadits nomor
57)

13. Ketika Anda menilai sesuatu dari dosa apa tidak, dan tidak mau melihat
dari sisi makruh apa tidak. Akibatnya, Anda akan enteng melakukan hal-hal
yang syubhat dan dimakruhkan agama. Hati-hatilah! Sebab, Rasulullah saw.
pernah bersabda, “Barangsiapa yang berada dalam syubhat, berarti dia berada
dalam yang haram, seperti penggembala yang menggembalakan ternaknya di
sekitar tanaman yang dilindungi yang dapat begitu mudah untuk merumput di
dalamnya.” (Muslim, hadits nomor 1599)

Iman Anda pasti dalam keadaan lemah, jika Anda mengatakan, “Gak apa. Ini kan
cuma dosa kecil. Gak seperti dia yang melakukan dosa besar. Istighfar tiga
kali juga hapus tuh dosa!” Jika sudah seperti ini, suatu ketika Anda pasti
tidak akan ragu untuk benar-benar melakukan kemungkaran yang besar. Sebab,
rem imannya sudah tidak pakem lagi.

14. Ketika Anda mencela hal yang makruf dan punya perhatian dengan
kebaikan-kebaikan kecil. Ini pesan Rasulullah saw., “Jangan sekali-kali kamu
mencela yang makruf sedikitpun, meski engkau menuangkan air di embermu ke
dalam bejana seseorang yang hendak menimba air, dan meski engkau berbicara
dengan saudarmu sedangkan wajahmu tampak berseri-seri kepadanya.” (Silsilah
Shahihah, nomor 1352)

Ingatlah, surga bisa Anda dapat dengan amal yang kelihatan sepele!
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang menyingkirkan gangguan dari
jalan orang-orang muslim, maka ditetapkan satu kebaikan baginya, dan
barangsiapa yang diterima satu kebaikan baginya, maka ia akan masuk surga.”
(Bukhari, hadits nomor 593)

15. Ketika Anda tidak mau memperhatikan urusan kaum muslimin dan tidak mau
melibatkan diri dalam urusan-urusan mereka. Bahkan, untuk berdoa bagi
keselamatan mereka pun tidak mau. Padahal seharusnya seorang mukmin seperti
hadits Rasulullah ini, “Sesungguhnya orang mukmin dari sebagian orang-orang
yang memiliki iman adalah laksana kedudukan kepala dari bagian badan. Orang
mukmin itu akan menderita karena keadaan orang-orang yang mempunyai iman
sebagaimana jasad yang ikut menderita karena keadaan di kepala.” (Silsilah
Shahihah, nomor 1137)

16. Ketika Anda memutuskan tali persaudaraan dengan saudara Anda. “Tidak
selayaknya dua orang yang saling kasih mengasihi karean Allah Azza wa Jalla
atau karena Islam, lalu keduanya dipisahkan oleh permulaan dosa yang
dilakukan salah seorang di antara keduanya,” begitu sabda Rasulullah saw.
(Bukhari, hadits nomor 401)

17. Ketika Anda tidak tergugah rasa tanggung jawabnya untuk beramal demi
kepentingan Islam. Tidak mau menyebarkan dan menolong agama Allah ini.
Merasa cukup bahwa urusan dakwah itu adalah kewajiban para ulama. Padahal,
Allah swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kalian
penolong-penolong (agama) Allah.” (Ash-Shaff:14)

18. Ketika Anda merasa resah dan takut tertimpa musibah; atau mendapat
problem yang berat. Lalu Anda tidak bisa bersikap sabar dan berhati tegar.
Anda kalut. Tubuh Anda gemetar. Wajah pucat. Ada rasa ingin lari dari
kenyataan. Ketahuilah, iman Anda sedang diuji Allah. “Apakah manusia itu
mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: Kami telah beriman, sedang
mereka belum diuji.” (Al-Ankabut:2)

Seharusnya seorang mukmin itu pribadi yang ajaib. Jiwanya stabil. “Alangkah
menakjubkannya kondisi orang yang beriman. Karena seluruh perkaranya adalah
baik. Dan hal itu hanya terjadi bagi orang yang beriman, yaitu jika ia
mendapatkan kesenangan maka ia bersyukur dan itu menjadi kebaikan baginya;
dan jika ia tertimpa kesulitan dia pun bersabar, maka hal itu menjadi
kebaikan baginya.” (Muslim)

19. Ketika Anda senang berbantah-bantahan dan berdebat. Padahal, perbuatan
itu bisa membuat hati Anda keras dan kaku. “Tidaklah segolongan orang
menjadi tersesat sesudah ada petunjuk yang mereka berada pada petunjuk itu,
kecuali jika mereka suka berbantah-bantahan.” (Shahihul Jami’, nomor 5633)

20. Ketika Anda bergantung pada keduniaan, menyibukkan diri dengan urusan
dunia, dan merasa tenang dengan dunia. Orientasi Anda tidak lagi kepada
kampung akhirat, tapi pada tahta, harta, dan wanita. Ingatlah, “Dunia itu
penjara bagi orang yang beriman, dan dunia adalah surga bagi orang kafir.”
(Muslim)

21. Ketika Anda senang mengucapkan dan menggunakan bahasa yang digunakan
orang-orang yang tidak mencirikan keimanan ada dalam hatinya. Sehingga,
tidak ada kutipan nash atau ucapan bermakna semisal itu dalam ucapan Anda.

Bukankah Allah swt. telah berfirman, “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku:
‘Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar).
Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka.
Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia’.”
(Al-Israa’:53)

Seperti inilah seharusnya sikap seorang yang beriman. “Dan apabila mereka
mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan
mereka berkata: ‘Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu,
kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang
jahil.’” (Al-Qashash:55)

Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaklah berkata yang baik atau diam.” (Bukhari dan Muslim)

22. Ketika Anda berlebih-lebihan dalam masalah makan-minum, berpakaian,
bertempat tinggal, dan berkendaraan. Gandrung pada kemewahan yang tidak
perlu. Sementara, begitu banyak orang di sekeliling Anda sangat membutuhkan
sedikit harta untuk menyambung hidup.

Ingat, Allah swt. telah mengingatkan hal ini, ”Hai anak Adam, pakailah
pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan
janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan.” (Al-A’raf:31). Bahkan, Allah swt. menyebut
orang-orang yang berlebihan sebagai saudaranya setan. Karena itu Allah
memerintahkan kita untuk, “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang
terdekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan,
dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.”
(Al-Isra’:26)

Rasulullah saw. bersabda, “Jauhilah hidup mewah, karena hamba-hamba Allah
itu bukanlah orang-orang yang hidup mewah.” (Al-Silsilah Al-Shahihah, nomor
353).

"Terimakasih untuk sahabat aku.. Wiwie yang sering memberikan artikel2 bagus.." 
diambil dari  :   www.dakwatuna.com